Perjalanan
Oleh : Alby Anzalia Siregar
Mungkin
pernah ada masa di mana aku bukanlah aku dan kamu bukanlah kamu. Di kehidupan
sebelumnya, mungkin kita adalah teman masa kecil yang suka main gundu sambil
jongkok diteras rumah. Atau dua lansia bersahabat baik yang hobi bertukar
cerita dan adu nostalgia. Seperti ada benang merah yang tak kasat mata yang
jadi alat telusur kita ke masa lampau, lalu menjadi kunci jawaban kontamplasiku
sedari dulu seperti ini :
“Cara kita memaknai dunia sunggu
berbeda. Kamu penggemar berat tawa receh nyasing di berbagai radiasi warna,
sedangkan aku selalu takjub dengan kata dan angka. Kalau bukan terhubung
dikehidupan lainnya, lantas apa alasannya?” kamupun pernah berkata tak perlu
repot-repot mencari logikanya. Alam raya selalu punya skenario yang hanya perlu
diikuti alurnya. Tak Cuma jago bercanda, kamu ternyata pintar negosiasi. Kita berjabat
tangan, bertautan kelingking dan saling mangut-mangut. Seperti lirik lagu oleh
Ananda Badudu dan Monita Tahalea “Yang kelak akan datang, tak kau tahu
sekarang. Barangkali kita berangkat saja dulu, meski tahu jalan nanti akan
berbatu. Tak tahu berapa jauh, tapi pasti kita berangkat saja dulu.”
Sabuk pengaman terpasang kecang
sekali sampai rasanya gerakku tak leluasa beberapa kali. Kunyatakan berulang
kali diawal, perjalanan ini harus punya destinasi. Sudah cukup hari dimana kita
masih cukup balia untuk berkendara berdua, tapi masih tetap saja melihat kanan
dan kiri, hinggap sana sini, berharap mendapatkan yang lebih indah dari yang
ini. Sepanjang perjalanan banyak sekali rasa yang sudah aku temui. Ramai sekali.
Seperti selogan permen asam-masin dan juga asam yang terkenal itu. Berdua kita
mencari, apa yang hangat dan nyaman selalu menjadi hal yang harus kita bagi. Tapi
begitupun kita pernah begitu patah hati. Aku tergesa-gesa pakai kaus kaki,
pergi beranjak dan terbang bebas kemanapun sebelum cahaya jatuh di celah
dedaunan. Tak perlu pulang menunggu berdua atau berkawan hanya aku sendiri saja
dan berharap tidak akan pernah sampai ke rumah dan menemuimu kembali.
Kau tahu seperti apa rasanya
disisimu? Seperti...
Kita penumpang berdampingan dalam
sebuah bis. Aku yang kerap kalo mengantongi sekong koin logam yang berukir
hewan punah, kau yang kerap berhenti didahapanku. Membantu menyalakan lampu
yang redup sebelumnya kemudian mengagumi bentuk makanan ringan yang kerap kali
hadir di bola matamu. Pada jemarimupun kerap sekali muncul peringatan bahwa
kita beranjak pergi usiapun ikut beranjak pergi. Kepadamu, aku kerap sekali
ingin menjadi aku.
-***-
0 komentar:
Posting Komentar