Selasa, 08 Maret 2022

Sebuah Catatan-

 

Perjalanan

Oleh : Alby Anzalia Siregar


            Mungkin pernah ada masa di mana aku bukanlah aku dan kamu bukanlah kamu. Di kehidupan sebelumnya, mungkin kita adalah teman masa kecil yang suka main gundu sambil jongkok diteras rumah. Atau dua lansia bersahabat baik yang hobi bertukar cerita dan adu nostalgia. Seperti ada benang merah yang tak kasat mata yang jadi alat telusur kita ke masa lampau, lalu menjadi kunci jawaban kontamplasiku sedari dulu seperti ini :

            “Cara kita memaknai dunia sunggu berbeda. Kamu penggemar berat tawa receh nyasing di berbagai radiasi warna, sedangkan aku selalu takjub dengan kata dan angka. Kalau bukan terhubung dikehidupan lainnya, lantas apa alasannya?” kamupun pernah berkata tak perlu repot-repot mencari logikanya. Alam raya selalu punya skenario yang hanya perlu diikuti alurnya. Tak Cuma jago bercanda, kamu ternyata pintar negosiasi. Kita berjabat tangan, bertautan kelingking dan saling mangut-mangut. Seperti lirik lagu oleh Ananda Badudu dan Monita Tahalea “Yang kelak akan datang, tak kau tahu sekarang. Barangkali kita berangkat saja dulu, meski tahu jalan nanti akan berbatu. Tak tahu berapa jauh, tapi pasti kita berangkat saja dulu.”

            Sabuk pengaman terpasang kecang sekali sampai rasanya gerakku tak leluasa beberapa kali. Kunyatakan berulang kali diawal, perjalanan ini harus punya destinasi. Sudah cukup hari dimana kita masih cukup balia untuk berkendara berdua, tapi masih tetap saja melihat kanan dan kiri, hinggap sana sini, berharap mendapatkan yang lebih indah dari yang ini. Sepanjang perjalanan banyak sekali rasa yang sudah aku temui. Ramai sekali. Seperti selogan permen asam-masin dan juga asam yang terkenal itu. Berdua kita mencari, apa yang hangat dan nyaman selalu menjadi hal yang harus kita bagi. Tapi begitupun kita pernah begitu patah hati. Aku tergesa-gesa pakai kaus kaki, pergi beranjak dan terbang bebas kemanapun sebelum cahaya jatuh di celah dedaunan. Tak perlu pulang menunggu berdua atau berkawan hanya aku sendiri saja dan berharap tidak akan pernah sampai ke rumah dan menemuimu kembali.

            Kau tahu seperti apa rasanya disisimu? Seperti...

            Kita penumpang berdampingan dalam sebuah bis. Aku yang kerap kalo mengantongi sekong koin logam yang berukir hewan punah, kau yang kerap berhenti didahapanku. Membantu menyalakan lampu yang redup sebelumnya kemudian mengagumi bentuk makanan ringan yang kerap kali hadir di bola matamu. Pada jemarimupun kerap sekali muncul peringatan bahwa kita beranjak pergi usiapun ikut beranjak pergi. Kepadamu, aku kerap sekali ingin menjadi aku.

-***-

           

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar