Sabtu, 19 Juli 2025

Pertengahan

 

Fragments of Being



            Setengah tahun datang, akhir tahun akan pulang, 2025 pergi menghilang, 2026 tiba tiba mendesak untuk diberi peluang. Apakah kau pernah membaca kutipan indah dari langit yang melindungi yang ditulis oleh Paul Bowles? Ia begitu menenangkan kemudian membuat hening demikian. Serupa ilalang yang melambai di sore hari dibawah langit yang amat sangat manis dan magic.

            Ia mengatakan bahwa “Di depan matanya terbentang langit biru yang ganas – tak ada yang lain. Sejenak ia memandanginya. Bagai suara dahsyat yang menggelegar, langit itu menghancurkan segala yang ada di benaknya, melumpuhkannya. Seseorang pernah berkata kepadanya bahwa langit menyembunyikan malam di baliknya, melindungi orang di bawahnya dari kengerian yang ada di atas. Tanpa berkedip, ia terpaku pada kekosongan yang pekat, dan derita mulai menjalar dalam dirinya. Kapan saja robekan itu bisa terjadi, tepiannya terhempas kembali, dan rahang raksasa itu akan tersingkap.”

Di depan matanya, terbentang langit biru yang luas pun ganas dalam diamnya. Tak ada awan. Tak ada burung. Hanya kekosongan yang menggantung begitu rendah, seolah hendak menelannya bulat-bulat. Aku berdiri lama, nyaris tak bernapas, seperti seseorang yang tengah menunggu sesuatu pecah atau bahkan lenyap. Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa langit menyembunyikan malam di balik warnanya untuk menjaga manusia dari kegelapan sejati yang mengintai di atas.

Tapi pagi ini, aku merasa langit itu sudah terlalu tipis. Bagai tabir yang siap robek kapan saja. Pikiranku kosong, tapi jantungku berdegup dengan ngeri. Bukan karena ada yang mengejar tapi karena tak ada apa pun. Tak ada suara. Tak ada makna. Tak ada arah. Aku tahu, barangkali dunia tidak pernah berjanji akan memberi arti. Barangkali semua ini hanya terjadi begitu saja kehidupan yang mungkin melemparkanku ke sini, ke tempat yang bahkan tidak pernah sama sekali terlintas dan dipilih. Lalu, rasa sakit itu datang. Bukan luka. Bukan cedera. Tapi semacam derita yang merambat dari dada ke kepala menyusup ke relung yang tak pernah bisa dijangkau siapa pun. Derita karena hidup terlalu diam. Terlalu tak masuk akal.

Namun, diantara waktu yang bergerak yang aku tahu namaku pernah berarti sesuatu. Pernah menjadi panggilan yang hangat dari bibir ibu, pernah tercatat di ijazah, pernah ditulis dengan spidol hitam di meja sekolah yang kini sudah berdebu. Aku bangun setiap pagi, menatap cermin, dan menemukan mata yang asing mata seseorang yang menunggu sesuatu tanpa tahu apa yang ditunggu. Setiap hari, aku berjalan. Tidak menuju sesuatu, hanya agar tidak diam. aku melewati orang-orang, kendaraan, poster iklan kebahagiaan, dan wajah-wajah yang sibuk bersembunyi dari kehampaan yang sama. Dunia terasa seperti panggung tanpa naskah. Semua orang bermain tanpa tahu apa adegannya.

Aku tak pernah benar-benar menemukan jawaban yang mutlak. Tidak ada cahaya dari langit yang tiba-tiba menyinari jalan. Tidak ada suara dari langit yang memberinku petunjuk. Tapi, perlahan, Aku mulai berdamai. Aku belajar bahwa tak semua pertanyaan harus dijawab beberapa cukup direnungkan. Bahwa makna bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan dibentuk, hari demi hari, lewat hal-hal kecil: secangkir kopi hangat, tawa anak kecil di jalan, percakapan dengan orang asing, atau keheningan yang ia peluk sendiri.

Kini, setiap langkah bukan lagi pelarian, tapi pilihan. Aku masih berjalan, tapi tak lagi kosong. Dunia tetap absurd, tetap sunyi, tetap tak pasti. Namun, Aku tidak lagi takut. Karena dalam diriku, telah tumbuh sesuatu yang lembut yaitu penerimaan. Langit biru itu masih terbentang di atasnya. Tapi kini, Aku tak lagi melihatnya sebagai jurang yang menakutkan. Aku melihatnya sebagai kanvasluas, bebas, dan tak berbatas seperti hidup itu sendiri.

Langit biru itu masih terbentang di atas kepalaku. Luas. Ganas. Tak terjamah. Seperti dahulu. Tapi entah mengapa kini terasa berbeda. Bukan lagi sebagai ancaman, bukan lagi sebagai lubang kosong yang siap menelan tanpa ampun. Langit itu kini diam dalam cara yang menenangkan, bukan membekukan. Aku berdiri di bawahnya, tak lagi menghindar. Dulu, setiap ketakpastian membuatku sesak.

Aku ingin semuanya pasti, semuanya jelas. Namun, hidup tak pernah menjanjikan hal itu. Aku mencarinya di luar pada orang lain, pada kepercayaan, pada tujuan yang dibuat-buat. Tapi semua berakhir sama: kosong. Sekarang Aku tahu, bukan jawabannya yang berubah. Akulah yang kini melihat segalanya secara berbeda. Aku telah menjadi peziarah dalam labirin batin sendiri jatuh, merangkak, dan terdiam terlalu lama di tikungan-tikungan sunyi yang tak dikena. Aku menyapa luka-lukanya satu per satu, bukan untuk menaklukkannya, tetapi untuk mengenal siapa diriku di dalam luka-luka itu.

Dalam sunyi yang pernah begitu menyiksa, Aku perlahan menyadari bahwa keheningan bukan musuh, melainkan cermin yang jujur. Tak ada kilatan mukjizat. Tak ada tokoh bijak yang datang menuntun tanganku. Hanya hari-hari sepi, suara hujan yang turun diam-diam, dan napas yang tetap berjalan meski segala hal terasa runtuh. Kini, hidup bukan lagi teka-teki yang harus dipecahkan melainkan tanah yang harus dijalani, langkah demi langkah, dengan sadar. Aku tak lagi memaksa dunia memberiku arti. Aku sendirilah yang kini menciptakan makna dari keterhubungan yang sederhana, dari keberanian untuk tetap bangun meski tak tahu ke mana harus melangkah.

Aku menengadah ke langit. Tepiannya tak lagi menggigilkan. Rahang raksasa itu telah menjadi gerbang. Gerbang menuju kebebasan. Bukan kebebasan dari dunia. Tapi kebebasan dalam diri. Kebebasan untuk menjadi, untuk merasakan, untuk gagal, dan tetap hidup. Dan dengan napas yang dalam, Aku berkata dalam hati bukan kepada siapa-siapa, hanya kepada diri yang kini lebih utuh:

“Aku mungkin tak akan pernah tahu segalanya. Tapi aku tak lagi takut untuk hidup tanpa tahu. Karena setiap detik yang kulalui dengan jujur, adalah jawabanku sendiri.”

Langkahku pelan, namun pasti. Di ujung senja, bayanganku mungkin berjalan Bersama diriku sendiri yang sangat ingin kupeluk. Yang ku tahun, tak ada sorak, tak ada sorotan. Hanya sepasang mata yang kini tak lagi mencari ke luar. Ia pulang ke dalam.

Dan langit… akhirnya terasa seperti rumah.

0 komentar:

Posting Komentar