Fragments
of Being
Setengah
tahun datang, akhir tahun akan pulang, 2025 pergi menghilang, 2026 tiba tiba
mendesak untuk diberi peluang. Apakah kau pernah membaca kutipan indah dari langit
yang melindungi yang ditulis oleh Paul Bowles? Ia begitu menenangkan kemudian
membuat hening demikian. Serupa ilalang yang melambai di sore hari dibawah
langit yang amat sangat manis dan magic.
Ia mengatakan bahwa “Di depan
matanya terbentang langit biru yang ganas – tak ada yang lain. Sejenak ia
memandanginya. Bagai suara dahsyat yang menggelegar, langit itu menghancurkan
segala yang ada di benaknya, melumpuhkannya. Seseorang pernah berkata kepadanya
bahwa langit menyembunyikan malam di baliknya, melindungi orang di bawahnya
dari kengerian yang ada di atas. Tanpa berkedip, ia terpaku pada kekosongan
yang pekat, dan derita mulai menjalar dalam dirinya. Kapan saja robekan itu
bisa terjadi, tepiannya terhempas kembali, dan rahang raksasa itu akan
tersingkap.”
Di
depan matanya, terbentang langit biru yang luas pun ganas dalam diamnya. Tak
ada awan. Tak ada burung. Hanya kekosongan yang menggantung begitu rendah,
seolah hendak menelannya bulat-bulat. Aku berdiri lama, nyaris tak bernapas,
seperti seseorang yang tengah menunggu sesuatu pecah atau bahkan lenyap. Seseorang
pernah berkata kepadaku bahwa langit menyembunyikan malam di balik warnanya
untuk menjaga manusia dari kegelapan sejati yang mengintai di atas.
Tapi
pagi ini, aku merasa langit itu sudah terlalu tipis. Bagai tabir yang siap
robek kapan saja. Pikiranku kosong, tapi jantungku berdegup dengan ngeri. Bukan
karena ada yang mengejar tapi karena tak ada apa pun. Tak ada suara. Tak ada
makna. Tak ada arah. Aku tahu, barangkali dunia tidak pernah berjanji akan
memberi arti. Barangkali semua ini hanya terjadi begitu saja kehidupan yang mungkin
melemparkanku ke sini, ke tempat yang bahkan tidak pernah sama sekali terlintas
dan dipilih. Lalu, rasa sakit itu datang. Bukan luka. Bukan cedera. Tapi
semacam derita yang merambat dari dada ke kepala menyusup ke relung yang tak
pernah bisa dijangkau siapa pun. Derita karena hidup terlalu diam. Terlalu tak
masuk akal.
Namun,
diantara waktu yang bergerak yang aku tahu namaku pernah berarti sesuatu.
Pernah menjadi panggilan yang hangat dari bibir ibu, pernah tercatat di ijazah,
pernah ditulis dengan spidol hitam di meja sekolah yang kini sudah berdebu. Aku
bangun setiap pagi, menatap cermin, dan menemukan mata yang asing mata
seseorang yang menunggu sesuatu tanpa tahu apa yang ditunggu. Setiap hari, aku berjalan.
Tidak menuju sesuatu, hanya agar tidak diam. aku melewati orang-orang,
kendaraan, poster iklan kebahagiaan, dan wajah-wajah yang sibuk bersembunyi
dari kehampaan yang sama. Dunia terasa seperti panggung tanpa naskah. Semua orang
bermain tanpa tahu apa adegannya.
Aku
tak pernah benar-benar menemukan jawaban yang mutlak. Tidak ada cahaya dari
langit yang tiba-tiba menyinari jalan. Tidak ada suara dari langit yang
memberinku petunjuk. Tapi, perlahan, Aku mulai berdamai. Aku belajar bahwa tak
semua pertanyaan harus dijawab beberapa cukup direnungkan. Bahwa makna bukan
sesuatu yang ditemukan, melainkan dibentuk, hari demi hari, lewat hal-hal
kecil: secangkir kopi hangat, tawa anak kecil di jalan, percakapan dengan orang
asing, atau keheningan yang ia peluk sendiri.
Kini,
setiap langkah bukan lagi pelarian, tapi pilihan. Aku masih berjalan, tapi tak
lagi kosong. Dunia tetap absurd, tetap sunyi, tetap tak pasti. Namun, Aku tidak
lagi takut. Karena dalam diriku, telah tumbuh sesuatu yang lembut yaitu penerimaan.
Langit biru itu masih terbentang di atasnya. Tapi kini, Aku tak lagi melihatnya
sebagai jurang yang menakutkan. Aku melihatnya sebagai kanvasluas, bebas, dan
tak berbatas seperti hidup itu sendiri.
Langit
biru itu masih terbentang di atas kepalaku. Luas. Ganas. Tak terjamah. Seperti
dahulu. Tapi entah mengapa kini terasa berbeda. Bukan lagi sebagai ancaman,
bukan lagi sebagai lubang kosong yang siap menelan tanpa ampun. Langit itu kini
diam dalam cara yang menenangkan, bukan membekukan. Aku berdiri di bawahnya,
tak lagi menghindar. Dulu, setiap ketakpastian membuatku sesak.
Aku
ingin semuanya pasti, semuanya jelas. Namun, hidup tak pernah menjanjikan hal
itu. Aku mencarinya di luar pada orang lain, pada kepercayaan, pada tujuan yang
dibuat-buat. Tapi semua berakhir sama: kosong. Sekarang Aku tahu, bukan
jawabannya yang berubah. Akulah yang kini melihat segalanya secara berbeda. Aku
telah menjadi peziarah dalam labirin batin sendiri jatuh, merangkak, dan
terdiam terlalu lama di tikungan-tikungan sunyi yang tak dikena. Aku menyapa
luka-lukanya satu per satu, bukan untuk menaklukkannya, tetapi untuk mengenal
siapa diriku di dalam luka-luka itu.
Dalam
sunyi yang pernah begitu menyiksa, Aku perlahan menyadari bahwa keheningan
bukan musuh, melainkan cermin yang jujur. Tak ada kilatan mukjizat. Tak ada
tokoh bijak yang datang menuntun tanganku. Hanya hari-hari sepi, suara hujan
yang turun diam-diam, dan napas yang tetap berjalan meski segala hal terasa
runtuh. Kini, hidup bukan lagi teka-teki yang harus dipecahkan melainkan tanah
yang harus dijalani, langkah demi langkah, dengan sadar. Aku tak lagi memaksa
dunia memberiku arti. Aku sendirilah yang kini menciptakan makna dari
keterhubungan yang sederhana, dari keberanian untuk tetap bangun meski tak tahu
ke mana harus melangkah.
Aku
menengadah ke langit. Tepiannya tak lagi menggigilkan. Rahang raksasa itu telah
menjadi gerbang. Gerbang menuju kebebasan. Bukan kebebasan dari dunia. Tapi
kebebasan dalam diri. Kebebasan untuk menjadi, untuk merasakan, untuk gagal,
dan tetap hidup. Dan dengan napas yang dalam, Aku berkata dalam hati bukan
kepada siapa-siapa, hanya kepada diri yang kini lebih utuh:
“Aku
mungkin tak akan pernah tahu segalanya. Tapi aku tak lagi takut untuk hidup
tanpa tahu. Karena setiap detik yang kulalui dengan jujur, adalah jawabanku
sendiri.”
Langkahku
pelan, namun pasti. Di ujung senja, bayanganku mungkin berjalan Bersama diriku
sendiri yang sangat ingin kupeluk. Yang ku tahun, tak ada sorak, tak ada
sorotan. Hanya sepasang mata yang kini tak lagi mencari ke luar. Ia pulang ke dalam.
Dan langit… akhirnya terasa seperti
rumah.
0 komentar:
Posting Komentar