Di Antara Mawar dan Cahaya yang Pulang
Di
taman mawar, bunga-bunga bermanuver menuju sinar matahari musim dingin dan
suara air terjun kolam koi yang memikat membuatmu berpikir ia jatuh cinta
padamu. Kau tak melawan—kau sudah selesai (setidaknya untuk sementara) dengan
dunia "biasa" itu. ―
Tom Hillman, Digging
Hari
itu, kau datang bukan untuk mencari apa pun kau hanya ingin berhenti sejenak
dari riuh pikiranmu yang tak pernah tidur. Dunia terasa berat, terlalu ramai,
terlalu menuntut, dan kau mulai kehilangan dirimu di tengah semua suara yang
bukan milikmu. Maka kau melangkah masuk ke taman mawar itu, tempat yang entah
bagaimana terasa lebih jujur daripada manusia mana pun yang kau temui
belakangan ini. Udara musim dingin memelukmu dengan cara yang tak hangat, tapi
juga tak dingin hanya cukup untuk mengingatkan bahwa kau masih hidup.
Di
sana, bunga-bunga mawar tidak sekadar tumbuh mereka seperti makhluk lembut yang
memahami perjuanganmu. Kelopak-kelopaknya miring, bergerak pelan, “bermanuver”
menuju seberkas sinar matahari pucat. Seolah mereka ingin menunjukkan: meski
cahaya hanya sisa, tetaplah bergerak ke arahnya. Melihat itu, dadamu yang
selama ini sesak perlahan mengendur. Kau mulai merasakan sesuatu yang lama
hilang ketenangan. Suara air terjun di kolam koi berjatuhan lembut, seperti
alunan nada yang dicipta hanya untukmu. Riaknya memantulkan cahaya samar, dan
pada pantulannya kau melihat bentuk dirimu yang lebih jernih, lebih tenang,
lebih utuh.
Di
momen itu, kau merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Bukan perasaan yang
biasanya datang dari manusia; bukan cinta yang penuh harap atau takut
kehilangan. Ini lebih… sunyi. Lebih damai. Seperti taman itu, dengan segala
keheningan dan musim dinginnya, memiliki cara halus untuk mencintaimu tanpa
suara. Dan kau tidak melawan.
Untuk
pertama kalinya sejak lama, kau membiarkan dirimu diterima. Kau membiarkan
dirimu dicintai oleh sesuatu yang tidak meminta apa pun darimu. Kau membiarkan
bahumu terjatuh, hatimu terbuka, dan dunia “biasa” yang selalu membuatmu lelah…
kau tinggalkan di belakang, walau hanya untuk sementara. Di tengah mawar-mawar
itu, kau menemukan sesuatu yang nyaris terlupakan dirimu sendiri. Dan
ketenangan yang kau biarkan masuk, pada akhirnya menuntunmu untuk merangkai
kata-kata yang sejak lama ingin keluar, tetapi tak pernah menemukan jalannya.
Lalu, Pada malam yang dingin tapi terasa
hangat ini kutuliskan puisi yang ingin kubaca sendiri.
Pelan pelan dengan tenang pun dengan
lantang…
Di taman mawar yang dingin dan sunyi,
aku menemukan diriku kembali—
bukan sebagai bayang-bayang yang lelah,
melainkan sebagai tubuh yang ingin disembuhkan.
Bunga-bunga itu bergerak menuju cahaya,
seolah mengajariku tentang harapan
yang tidak pernah sepenuhnya hilang—
hanya menunggu untuk dipanggil pulang.
Air terjun berbisik di antara batu,
menyebut namaku dengan irama lembut,
seakan berkata: bertahanlah,
bahkan saat dunia terasa terlalu besar.
Aku berdiri di sana—
membiarkan cinta paling sunyi memelukku.
Tidak dalam bentuk tangan,
tetapi dalam bentuk ketenangan
yang menyelinap ke dalam dada tanpa izin.
Dan untuk sesaat,
aku berhenti mencari tempat untuk kembali—
karena aku sadar,
aku telah menemukannya di sini.
Di taman itu,
di antara mawar-mawar yang tak menyerah pada musim,
aku belajar mencintai kembali diriku
yang pernah hilang di tengah kebisingan dunia.
Dan ketika aku melangkah pergi,
aku membawa serta cahaya kecil itu—
cahaya yang berkata:
“Kau layak untuk tenang.
Kau layak untuk pulang.
Kau layak untuk cinta yang lembut.”
Anzalia
0 komentar:
Posting Komentar